Al-Qur'an Online

My wedding memory

Senin, 10 Januari 2011

KPK Dapat "Lampu Hijau" Usut Pengelolaan Dana PSSI

JAKARTA -- Keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut pengelolaan dana di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mendapat "lampu hijau" dari Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Menpora berpandangan KPK berhak menempuh langkah tersebut. Soalnya, organisasi pimpinan Nurdin Halid itu juga menerima suntikan dana dari negara, baik melalui APBN, maupun APBD. "Itu dana negara. Jadi, wajar diperiksa," kata Andi usai berbicara di diskusi Meneropong Indonesia 2011 di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu 8 Desember. Andi mengakui negara memang ikut memberi bantuan dana terhadap sejumlah agenda organisasi induk sepakbola di tanah air. Di antaranya, untuk kompetisi Indonesia Super League (ISL) dan pembentukan tim nasional (timnas). "Pemerintah memberikan dana PSSI untuk timnas Rp 20 miliar tahun lalu," ungkap pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 14 Maret 1963, itu. Dalam konteks tersebut, tegas Andi, setiap penggunaan uang negara memang harus diperiksa oleh lembaga hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban. "Namanya dana negara, semua givenlah (pemberian). Itu sudah jelas," tandasnya. Sebelumnya, Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa lembaga antikorupsi itu telah membentuk tim khusus untuk menelusuri pengelolaan dana PSSI yang bersumber dari APBN. Langkah ini merupakan tindaklanjut dari adanya informasi masyarakat mengenai keberadaan anggaran PSSI yang tidak diaudit secara transparan. Dalam proses pengkajiannya, KPK akan berkoordinasi dengan Kemenpora. KPK juga akan menelusuri penggunaan dana klub-klub sepakbola yang berasal dari APBD. Ini untuk memastikan pemakaian uang negara oleh sejumlah klub tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel. Selain APBN dan APBD, PSSI juga memiliki sejumlah sumber dana lain. Sepanjang 2010 lalu, misalnya, PSSI menerima Rp 2,05 miliar dari Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA), Rp 1,4 miliar dari pendaftaran pemain asing, dan sponsorsip kartu smart sebesar Rp 598 juta. Itu belum termasuk kucuran dana dari Kemenpora, APBD (klub-klub), tiket pertandingan, hak siar, investor, dan sponsorship lainnya. Secara halus, Menpora memuji ajang Liga Primer Indonesia (LPI) yang mendorong kemandirian sepakbola di tanah air dengan melarang seluruh klub peserta kompetisi menerima dana dari APBD. Andi mengatakan sering mendengar keluhan dari Walikota dan Bupati yang APBD "nya terkuras untuk sepakbola. "Sebagai orang yang selalu bicara otonomi daerah sebelum menjadi Menpora. Ini sesuatu yang menumbuhkan angin segar," tegasnya. Rawan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap penggunaan dana APBD untuk menghidupi sejumlah klub sepakbola tidak perlu dihentikan. Namun, penggunaan kas daerah yang rawan diselewengkan tersebut harus diawasi dan dipertanggungjawabkan pengelolaannya oleh pemerintah daerah. "Tidak perlu dihentikan (penggunaan APBD kepada klub sepakbola). Yang penting pengawasan dan pertanggungjawaban dari penggunaan APBD oleh pemerintah terkait," kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar saat dihubungi FAJAR. Meski begitu, Haryono menekankan, sebaiknya jatah APBD bagi klub-klub sepakbola tidak diberikan secara langsung. Melainkan, diwujudkan dalam bentuk program, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dana anggaran. "Ya, pemerintah kan juga perlu menghidupkan olahraga. Tapi jangan memberikan dana langsung, mungkin bisa dalam bentuk program," tambahnya. Senada dengan Haryono, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Mochammad Jasin menyatakan, perlu perbaikan sistem pengelolaan anggaran untuk klub sepak bola tersebut. "Jadi sebagai pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran tersebut dapat transparan dan akuntabel," katanya. Di bagian lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) tetap menuntut penghentian penggunaan dana APBD untuk klub sepakbola. "Mereka menilai, dana yang berasal dari kas daerah itu membuat klub-klub tersebut tidak mandiri secara finansial. "Penggunaan dana APBD untuk membiayai klub sepak bola, rawan penyimpangan. Suap menyuap dan korupsi menjadi penyebab terpuruknya sepak bola Indonesia," papar Koordinator ICW Danang Widoyoko, di Jakarta, kemarin. Di samping itu, penggunaan dana APBD untuk pembiayaan klub-klub tersebut, juga rawan dijadikan komoditas politik, seperti pilkada. Pengelolaan klub oleh pejabat daerah juga menyebabkan klub tidak maju, karena tidak dikelola oleh staf profesional. Untuk itu, ICW tetap mendesak pemerintah segera menghentikan penggunaan dana APBD oleh 18 klub Liga Super Indonesia (ISL) ditambah 36 klub divisi utama. "Dengan asumsi, setiap klub LSI mendapat Rp 20 miliar dan klub divisi utama Rp 10 miliar, berarti tiap tahun mereka menghabiskan Rp 720 miliar. Padahal, ada banyak bidang seperti pendidikan dan kesehatan yang butuh anggaran besar," urainya. Sementara itu, menyoal surat pemanggilan Sekjen PSSI Nugraha Besoes, terkait konfirmasi dugaan gratifikasi berupa tiket kepada sejumlah pejabat pada laga piala AFF 2010 lalu, KPK hingga kini belum mendapat respons dari pihak yang bersangkutan. "Belum ada (surat balasannya) dari PSSI," ujar Haryono. Meski begitu, Haryono menegaskan, KPK segera meminta pertanggungjawaban kepada PSSI, terkait pengelolaan dana olahraga yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), termasuk di dalamnya persoalan tiket tersebut. "Kami tetap akan minta penjelasan dan pertanggungjawaban dari mereka," tegasnya. (ken/agm)(pri)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com